Monday, February 15, 2010

MAAF UNTUK MUJIRAH MUSLIM

Adi masuk kedalam rumah dengan kepengatan sisa-sisa kemacetan sepulang dari kerjanya, setelah Muji membukakan pintu untuknya. Dari wajahnya yang kusam dan nafasnya yang berat, tersirat jelas kelelahan dan keletihan di Dirinya. Sebagai Kurir di Perusahaan jasa pengiriman barang dalam sebulan ini Dia memang harus kerja Extra karena peningkatan kuantitas pengiriman barang yang hampir mencapai tiga kali lipatnya. Namun Adi bukanlah Tipe Orang yang mudah mengeluh.
Lekas Muji membantu membukakan Jaket dan sepatunya lalu membawanya kebelakang. Adi melemaskan tangan dan kakinya. Kepalanya menengadah keatas bersandar pada punggung sofa tempatnya duduk. Tak lama kemudian Muji kembali dengan membawa secangkir kopi dan memberikannya pada Suaminya. Beberapa kali Adi mengicipnya lalu meletakan kembali dimeja.
“Nia sudah tidur?”
“Sudah. Sekitar satu jam yang lalu,” jawab Muji.
“Mas, mau kolak labuh?”
“Tentu saja. Itu makanan kesukaanku. Tapi setelah mandi. Badanku lengket sekali.”
Muji tersenyum. Adi menoleh pada tumpukan stoples yang berjajar dimeja.
“Apa Kamu tidak merasa lelah dengan kesibukanmu disamping harus mengurus Nia?. Terus terang Aku tidak mau Nia kurang mendapat perhatian darimu akibat usaha sampinganmu yang akhir-akhir ini semakin menyita waktumu.”
“Aku tahu, Mas. Makanya lebih banyak Kukerjakan saat Nia sedang sekolah atau setelah Dia tidur. Lagi pula ini yang terakhir kalinya karena besok akan diambil Pemesannya,” jelas Muji.
“Mas, bagaimana dengan rencana kepulangan Kita tahun ini?. Nia selalu menanyakan perihal Kakek dan Neneknya.”
“Sesuai rencana Kita semula. Kita bicarakan lagi nanti ya, setelah Aku mandi.”
Adi beranjak menuju kamar mandi. Sedangkan Muji kembali melanjutkan pekerjaannya. Diatas meja telah menunggunya beberapa stoples plastik berisi Kue-kue kering yang telah dikelompokan menurut jenisnya masing-masing. Chesse stik ebi. Sumpia special mini, Sus kering keju, Kacang mete pedas manis dan yang rasa asin gurih. Muji memasukan stoples-stoples itu kedalam kardus yang kemudian direkatnya dengan plaster lebar.
Tentang kepulangan Mereka ke Kampung halaman lebaran tahun ini. Muji memang sangat menanti-nantinya, disamping Dia segan dengan kenyataan yang akan terjadi nantinya. Saat bertemu kembali dengan kedua Orang tuanya. Orang tua yang hampir sepuluh tahun yang lalu ditinggalkannya dengan tidak baik. Ketidak baikan yang masih tersimpan rapat disela-sela sendi kehidupan sekarang yang penuh dengan perjuangan dan ujian. Untunglah Adi Seorang Suami yang bertanggung jawab. Muji tak sanggup membayangkan bila saja Adi tak sebijaksana seperti yang selalu Dia banggakan didepan semua Orang yang menentang hubungan mereka. Mereka selalu saja mengatakan hidupnya akan terlunta-lunta bila Dia tetap berhubungan dengan Adi yang hanya Anak Seorang janda.
Semua itu berawal ketika Mereka masih menjadi sepasang kekasih. Lebih dari dua tahun Mereka menjalin hubungan cinta. Dan lebih dari dua tahun pula Mereka mendapat pertentangan dari kedua belah pihak keluarga. Pak Nadar dan Istrinya yang lebih menginginkan Putrinya menikah dengan Sadewo. Lelaki yang memang jauh lebih dekat dengan Ayahnya, dibandingkan dengan Adi. Terlebih Sadewo telah mempunyai pekerjaan tetap dan rumah sendiri. Dibanding dengan Adi, sikap dan usianya memang jauh lebih dewasa. Tetapi dengan sadar dan lapang Sadewo menerima keputusan Muji yang dengan mentah-mentah menolak pinangannya. Namun Pak nadar yang lebih tak terima dan merasa malu dengan penolakan Putrinya. Tak jarang Dia menyerapah putrinya. Terlebih setelah Muji memutuskan tetap berhubungan dengan Adi hingga akhirnya nekat menikah dengannya, tanpa restu dari Orang tua Mereka dengan imbas Dia harus keluar dari rumah untuk selamanya.
Rintangan hidup belum selesai hanya disitu saja. Mereka harus mulai membangun kehidupan baru yang penuh dengan ujian dan cobaan. Tanpa bantuan, ataupun campur tangan Keluarga masing-masing.
Adi telah selesai mandi. Kini Dia duduk di kasur lantai, menyaksikan siaran televise yang didominasi oleh film-film Religi dan acara Kerohaniaan. Muji membawa dua mangkok kolak labuh dan memberikan salah satunya pada Adi.
“Mas, bagaimana dengan rencana kepulangan Kita lebaran tahun ini?,” pertanyaan yang sama terucap dari bibir Muji.
“Sesuai dengan rencana semula,” jawab Adi.
”…Apa Kamu telah siap menerima apapun resikonya nanti?” sambung Adi. Muji termenung sejenak. Dia mendekat pada Suaminya.
“Sudah dua kali Kita menundanya. Aku sudah siap menerima apapun resikonya Mas.”
“Bagaimana dengan Nia. Dia masih terlalu kecil untuk tahu semua ini. Aku takut Dia akan sangat kecewa nantinya. Aku tak bias bayangkan bagaimana terpukulnya perasaanya bila Kakek dan Neneknya menolak kehadirannya nanti.”
“Aku pun berfikir sama seperti itu. Tapi sampai kapan Kita terus berlari dari kenyataan. Dan setidaknya Nia bisa melihat Kakek dan Neneknya.”
Adi menarik nafas panjangnya.
“Baiklah. Sebenarnya Aku telah memesan tiket Kereta sejak seminggu yang lalu. Tadinya Aku masih ragu, tetapi sekarang Aku sudah yakin dan Kita akan Mudik tiga hari mendatang.”
“Terimakasih Mas” Muji memeluk Suaminya.
”Aku bahagia sekali mempunyai Suami yang baik dan bijaksana seperti Mas...”
“Sudah kewajibanku sebagai Seorang Suami. Apalagi Kamu telah banyak berkorban untukku. Jadi sekalipun Aku tak akan membuatmu kecewa.”


* * *








Pagi empat hari setelahnya sesuai dengan rencana, Muji dan Adi tiba di Kampung Halaman. Mereka melewati jajaran bebatuan yang kering. Disamping kiri dan kanan terbentang persawahan yang telah selesai panen. Damen-damen mengering dan terbakar panas. Sesuai dengan keputusan Adi untuk Mereka lebih dahulu ,mengunjungi Orang tua Muji yang memang sejalan dengan rumah Adi. Tak terlalu asing, namun banyak sekali yang telah berubah.
Melihat Nia , Dia gembira sekali sambil berlarian menuju Rumah Kakek-Neneknya yang sebetulnya belum pernah Dia ketahui. Adi nampaknya tenang saja dan cukup senang dengan kepulangannya. Tidakah Dia merasakan kecemasan dihatinya seperti yang Muji rasakan. Entahlah. Muji sendiri tak tahu persis apa yang sedang dirasakannya. Seperti perasaan bersalah atau perasaan takut. Perasaan malu dan rindu Keluarga. Atau mungkin perpaduan sempurna antara semua perasaan itu. Ingin sekali rasanya Muji berlari agar cepat sampai kerumah, namun Dia juga segan melihat halaman rumahnya sendiri.
Tak hanya sekali Mereka berpapasan dengan Orang-orang yang dulu pernah dikenalnya. Terkejut dan sama sekali tak menyangka. Itulah kesan yang tampak pada raut muka mereka saat pertama melihat Muji dan Adi menggandeng seorang Anak Perempuan. Mereka dapat menebak kalau Anak Perempuan itu adalah Putrinya. Dn muji sendiri agak canggung saat menypa Mereka.
Akhirnya sampai juga Mereka di halaman rumah Muji. Langkah Muji memelan dan tangannya menggenggam erat tangan Adi. Tiba-tiba Muji merasa sendu dan galau.
Ny. Nadar telah berdiri di depan rumah dengan mata berkaca-kaca. Sama sekali Muji tak berani menghampiri untuk memeluk Ibunya, walau teramat sangat besar kerinduan di hatinya. Dia hanya memandanginya dari jarak yang tak terlalu jauh. Akhirnya Muji tak kuasa juga bila hanya berdiri dan saling memandang. Dia berjalan menghampiri Ibunya. Ny. Nadar yang berdiri didepannya segera menyangga pundak Putrinya yang hendak berlutut dan mencium kakinya. Adi masih menggendong Nia, Putrinya dan masih mengamati Istrin dan Mertuannya.
“Papah, kenapa Mamah menangis ?” tanya Nia melihat Ibunya dan Orang yang baginya masih asing menangis.
“Karena Mamah sedang sangat bahagia Sayang!”
“Bahagia kok nangis?” tanya Nia lagi. Adi hanya tersenyum sambil mengusap-usap rambut Putrinya yang lurus kekuningan.
Bahagia dan lega rasanya karena akhirnya Ibunya membolehkan Adi mencium tangannya.
Belum lepas dari keharuan atas penerimaan Ibunya dengan lapang. Sekali lagi Mereka mendapat satu kejutan. Ketika Mereka melangkahkan Kaki, masuk kedalam rumah. Ny. Shati , Ibu Adi sedang duduk dengan mata yang berkaca-kaca pula. Dengan sigap, Adi segera menghambur kearah Ibunya dan bersimpuh dipangkuannya.. Ternyata apa yang dirasakan Muji, Adi pun merasakannya. Suasana haru dan bahagia pun menyelimuti satu keluarga yang baru sekali ini berkumpul kembali setelah sekian lamanya berpisah.
“Mah, Mereka Siapa?” tanya Nia.
“Mereka Nenek Kamu Sayang,“. jawab Muji.
“Bu, ini Adinia Muslim. Cucu Kalian,” kenal Muji pada Ibu dan Mertuanya yang segera memeluk Cucunya.
“Nenek, Kakek kemana?” tanya Nia dengan polosnya
Mendengar pertanyaan Nia, seketika Muji terhenyak. Sebegitu gembiranya Diakah hingga lupa masih ada Seorang lagi yang sangat penting baginya yang belum Dia lihat.
Dua Nenek dan satu Cucu. Mereka langsung akrab dan dekat. Nia sangat senang karena telah bertemu dengan Orang-orang selama ini selalu ditanyakannya. Muji juga sangat bahagia dan lega dengan penerimaan Orang tuanya.
Tapi bagaimana ceritanya. Bukankah dulu Orang Tuanya dan Orang Tua Adi tak saling menyukai. Bukan Muji tak setuju dengan keadaan ini. Tapi terlalu banyak yang telah terjadi yang tak Dia ketahui..
Sore hari setelah buka puasa. Muji masih belum melihat Bapaknya. Masih sangat bencikah Dia padanya dan Adi, hingga masih belum sudi menemuinya. Dengan penuh pertimbangan akhirnya Muji memberanikan diri untuk menanyakan perihal Bapaknya. Ny. Shati yang sangat tahu mengajak Nia bermain meninggalkan Muji dan ibunya yang sedang bercengkrama. Adi datang dan duduk disebelah Muji.
“Bu, Bapak kemana, kok dari tadi ngga kelihatan?”
Ny. Nadar tak langsung menjawab pertanyaannya. Air matanya kembali menetes membasahi pipinya. Muji yakin ada satu hal yang tidak menyenangkan. Muji pun terdiam, sedikit menunduk dan tak berani bertanya lagi, hingga akhirnya Ibunya menjawab pertanyaanya.
“Bapakmu telah meninggal dua tahun yang lalu,” jawab Ny. Nadar sambil menahan tangisnya. Jawaban Ibunya benar-benar membuat dada Muji sesak. Sama sekali Muji tak menyangka kalau Bapaknya telah meninggal tanpa sepengetahuannya. Muji semakin tertunduk sedih dan merasa sangat berdosa. Adi mendekap Muji kedalam pelukannya.
“Ya. Bapakmu telah meninggal dua tahun yang lalu akibat penyakit paru-paru keringnya. Semasa hidupnya, semenjak Kamu meninggalkan rumah, Beliau sangat merasa kehilangan dan menyesal. Setiap Sholat malam. Almarhum Bapakmu selalu mendoakan agar Kalian hidup bahagia dan sejahtera. Sebenarnya sudah lama sekali Bapakmu memaafkanmu dan berharap bila mana Kalian kembali, ingin Beliau merestui Kalian. Diakhir hidupnya, Almarhum Bapakmu meminta agar Ny. Shati, Ibumu Nak Adi, tinggal di sini untuk menemani Ibu,” jelas Ny. Nadar.

Hampir semalaman Muji tak bisa memejamkan matanya apalagi tertidur. Dia terus menyesali kesalahannya selama ini. Ketidak akrabannya dengan Ayahnya.
Pagi harinya bersama Adi dan Nia, Muji berziarah kemakam Bapaknya. Sebuah makam yang bersih dari rerumputan dan semak liar. Muji duduk bersimpuh. Air matanya kembali menetes membasahi gundukan tanah dengan nisan bertuliskan nama ‘SAEFUL MUSLIM’.
Sekembali Adi dari makan Bapaknya dan makam Kerabatnya yang lain, Muji masih duduk bersedekuh disamping makan Bapaknya. Adi mengusap air mata dipipi Istrinya.
“Aku dan Nia menunggumu di gerbang,“ kata Adi pada Muji yang tahu Istrinya masih ingin lebih lama di samping makan Bapaknya.
“Tidak Mas!” cegah Muji memegang lengan Adi. ”Temani Aku disini. Aku ingin Bapak melihat Kita dan tahu kalau Do’a-nya selama ini telah terkabul,” sambung Muji.
Adipun bersedekuh di samping Muji, berselang Nia yang meletakan seikat bunga Tulip putih diatas gundukan makan Kakeknya. Kakeknya yang belum sekalipun pernah dilihatnya.
* * *

No comments:

Post a Comment