Monday, February 15, 2010

DARAH PEMBALUT PERAWAN

Mela segera membukakan pintu untuk Seorang Custemer yang akan keluar dari Toilet. Senyum ramahnya mengembang saat Custemer itu berlalu melewatinya. Setelah itu Dia kembali menutup pintu. Membersihkan cermin dan wastafel dari percikan air. Masih ada lagi Seorang di ruang pas Toilet lainnya. Dia Wulan. Dia masuk beberapa menit setelah Custemer itu. Saat Mela sedang mengelap wastafel, dengan tergesa Wulan bergegas keluar. Mela hanya membalas dengan senyum simpul ucapan terimakasihnya. Dari cermin Mela melihat sebuah pembalut bekas pakai tergelayut di tutup Vida, dengan darah segar yang mulai menetes. Sangat menjijikan. Mela yakin pembalut bekas pakai itu milik Wulan. Dia yang baru keluar dari ruang pas itu.
“Ah..,jorok sekali,” gerutunya.
Tentu saja. Betapa tidak kesal Dia. Walau sudah menjadi tugasnya menjaga kebersihan Toilet itu, tapi tak seharusnya Dia membuang begitu saja bekas kotorannya tanpa tahu aturan. Terlebih Mela tahu Agama kepercayaan yang dianut Wulan. Seharusnya Dia mencuci bersih bekas pembalutnya sebelum membuangnya. Tak mungkin Wulan tak tahu itu.
Dengan masih agak kesal Mela melanjutkan kembali pekerjanya yang hampir selesai itu. Terdengar suara pintu terbuka. Mela menjulurkan Kepalanya untuk melihat Siapa yang masuk. Ternyata Hera. Teman Seprofesinya sebagai petugas kebersihan di Gedung perbelanjaan ini. Karena postur badannya yang kecil. Tingkahnya yang centil dan berani Dia lebih sering dipanggil ‘Ucrit’ oleh teman-temannya.
“Eh.., Lo Crit. Ngapain Lo kesini?” tanya Mela sambil memungut serpihan tissue dilantai.
“Ah.. Mela. Temenin Gue dong!. Takut Gue sendirian diatas. Sepi banget kayak ngga ada Orang,“ rengeknya manja.
“Emang Ridwan kemana?”
“Tau-ah. Di Toilet Cowok kali. Ah, sebel Gue. Dia nakut-nakutin Gue mulu…”
“Yaudah. Tapi Lo bantuin Gue dulu. Tuh, Lo Mhop-in lantai. Habis ini Gue temenin Lo.”
“Ya!”
Jawabnya ketus, tapi tidak membuat Mela kesal atau tersinggung karena itu sudah menjadi kebiasaannya. Sesekali Mela tersenyum dan tertawa mendengar cerita dan keluh kesah Hera yang sudah tiga bulan ini mendapat bagian tugas dilantai tiga. Memang di lantai tiga sebagian banyak adalah Perkantoran. Tak aneh jika pada pukul setengah sepuluh malam sebagian banyak telah tutup dan tak ada aktifitas lagi. Sedangkan menurut aturan Para Clener hanya boleh meninggalkan Area setelah pukul sepuluh malam.
Setelah menyelesaikan tugasnya Mela dan Hera pergi ke lantai tiga dengan menggunakan Lift Service.
“Ya elah. Gue lupa masukin pembalut ke Vida, Crit!”
“Ah, Mela. Pembalut apaan sih?” tanya Hera ketus.
“Tuh si Wulan ganjen itu. Buang pembalut bekasnya sembarangan.”
“Ah, kenapa ngga dari tadi sekalian sih?”
“Gue lupa Crit !. Temenin Gue bentar yuk?”
“Ogah ah.., capek Gue Mela. Naik turun dari tadi. Gue tunggu aja disini ya!. ”
“Ya udah. Lo tunggu disini ya.”
Mela pun kembali turun. Kali ini Dia menggunakan Eskalator karena bila menggunakan Lift Service lagi berarti Dia harus menunggu beberapa waktu, sedangkan Dia tak mau Bu. Pay, Pengawasnya yang sering mengontrol Toilet tahu dan melihat pembalut bekas itu. Mela pasti akan mendapat tegeran atau malah Surat Peringatan.
Di lantai satu, dengan terburu-buru Mela menuju Toilet. Setelah sampai Mela segera masuk dan membuka pintu ruang pas tempta Wulan membuang pambalut bekasnya. Alangkah terkejutnya Mela. Dia melihat Seoarang Nenek Tua sedang jangkok didekat Vida. Dari arah belakang Mela melihat Nenek Tua itu sedang memegang-megang pembalut bekas milik Wulan yang Dia buang dengan sembarangan tadi. Tentu saja Spontan Mela mendekat untuk melarang Nenek itu dan membuang benda kotor itu dari tangannya. Belum sempat Mela menegurnya, Nenek itu menoleh kepadanya. Mela lebih terkejut lagi. Ternyata Nenek Tua itu tengah mengisap-isap pembalut bekas itu. Darah mengotori tangan dan sekitar mulutnya. Melihatnya saja Mela menjadi mual dan ingin muntah.
Muka Nenek Tua itu sangat pucat dan senyumnya sangat mengerikan. Sontak Mela menjadi sangat ketakutan. Dia melangkah mundur dengan gugup sambil meraba-raba tembok. Setelah memegang daun pintu Dia segera keluar dan berlari hingga hampir menabrak seorang Custemer yang akan ke Toilet. Custemer itu hanya menatapi Mela heran. Didekat tangga Eskalator Mela bertemu dengan Bu. Pay yang akan mengontrol Toilet. Dengan agak gusar dan sedikit penasaran Dia menanyakan pada Anak buahnya itu tentang apa yang telah terjadi. Tetapi Mela hanya menunjuk-nunjuk kearah Toilet dan Bu Pay menjadi bingung dengan tingkah Mela. Masih penuh dengan rasa penasaran akhirnya Bu. Pay masuk kedalam Toilet diikuti Mela yang masih ketakutan.
“Mana?, tak ada apa-apa!”
“Demi Tuhan Bu. Pay, tadi Saya benar-benar melihatnya. Menjijikan dan mengerikan sekali.”
“Iya, tapi katakan yang jelas dong!.”
“Disana Bu. Pay. Di dekat Vida…”
Mela menunjuk ruang pas tempat Wulan membuang pembalut bekasnya. Bu. Pay masuk dan memeriksa sekeliling dengan seksama. Tetapi Dia tak menemukan apa-apa. Mela hanya berdiri memandangi dari luar tak berani mendekat.
“Ada apa Mba?, kok ribut-ribut?”
Tanya Seorang Custemer yang tadi hampir ditabrak Mela.
“Tidak apa-apa Bu. Cuma ini tadi…Anak buah Saya melaporkan ada yang buang sampah sembarangan.”
“Oh…, bekas pembalut disitu tadi?” tunjuk Custemer itu. “Sudah Saya buang ke tempatnya. Memang sembarangan sekali. Jangan ditiru ya Mba!.” pesannya dengan suara lembut.
“Aduh Ibu baik sekali. Kami mohon maaf atas ketidaknyamanannya dan Kami juga sangat berterimakasih atas kepedulian Ibu pada kebersihan,” ucap Bu. Pay santun dan merendah.
“Ya. Tidak apa-apa,” jawabnya masih dengan suara lembutnya. Custmer itu kemudian keluar dari ruang Toilet. Bu. Pay menatap Mela tajam dengan kesan marah. Mela hanya diam saja dengan masih tegang lalu mengikuti Pengawasnya keluar dari Toilet. Sekali lagi Mela menoleh kedalam kembali. Memang sudah tak ada apa-apa lagi. Lantai dan Vida itu pun telah bersih tanpa bercak darah pun disekitarnya.
“Dasar khetot!. Sini Lo!, Gue bilangin Pak Harmin ntar” ancam Hera dengan gaya kesalnya yang centil.
“Pak Marjan, tuh Rahmat Pak ..!” keluhnya sambil berlari kearah Foremennya.
“Ah..he..he..he.., Pak Marjan!” rengek Hera memeluk Foremennya sambil tertawa. Semua temannya pun mengakak geli melihat tingkahnya.
“Heh…Rahmat, sini Lo!” gertak Hera teralih pada Rahmat lagi. “Sidik, pegangin Rahmat dong. Gue ngga trima!.”
“Emang kalo Gue pegangin mau lo apain Crit?” tanya Sidik sambil tertawa.
“Gue pengen pegang Dia juga. Gue ngga trimaDia pegang-pegang pantat Gue,” jawab Hera kesal. Semua pun tertawa dan semakin ramai.
“Awas lo Dik kalo ikut-ikutan,” ancam Rahmat pada Sidik yang sebenarnya sama sekali tak minat untuk memeganinya sesuai permintaan Hera.
“Ada apa ini?. Pagi-pagi sudah ribut!” potong Pak Marjan. Rahmat pun berlindung dibalakang Foremennya saat Hera kembali mengejarnya.
“Rahmat tuh Pak, kurang ajar. Pegang-pegang pantat Saya.”
“Apa’an!. Orang Gue ngga sengaja.”
“Ngga sengaja apa’an!. Pak Marjan pegangin Rahmat dong!.”…
…” Sudah-sudah. Breafeng dulu. Kalian sudah pada Dewasa tapi masih kayak Anak-anak!.
“Tapi rahmat tuh Pak. Kebiasan.”
“Iya, iya. Nanti Bapak beri Dia hukuman. Sekarang Breafeng dulu.”
“Ngga mau. Pokoknya Saya mau pegang balik dulu Rahmat,”
“Ah.., Lo marah atau nafsu ke Gue Crit?” bantah Rahmat dengan senangnya.
“Hera-hera…!” tegur Pak Marjan. Kali ini lebih tegas.
Semua terdiam. Hera akhirnya terdiam kesal.
“Oke. Kita mulai Breafeng hari ini. Seperti biasanya, sebelum Kita mulai aktifitas, Kita awali dengan ber Do’a bersama dan…”…
Pak Marjam memulai Breafeng singkatnya. Setelah selesai Mereka berkemas dengan peralatannya masing-masing. Mela yang baru dating, segera masuk ke ruang Office dengan tergesa.
“Kenapa Kamu baru datang Mela?” Tanya Pak Marjan.
“Maaf Pak. Tadi jalanan macet banget,” jawabnya dengan terengah. “Lagi pula inikan peralihan sift dari siang ke pagi, jadi ada toleransi kan Pak?”
“Tapi lain kali Kamu harus brangkat lebih awal ya!. Ya sudah sekarang Kamu ganti baju terus langsung naik keatas.”
“Baik Pak!.”
Mela masuk ke ruang ganti kemudian meninggalkan ruang Office setelah mengisi absensi hariannya.
Di Lorong Basement Dia melihat Wulan tengah berdiri didekat lift Person. Entah apa yang Dia lakukan sepagi ini. Tapi untuk apa Dia peduli. Mela kembali terfokus pada rutinitasnya yang tertunda beberapa waktu karena keterlambatannya. Kini Dia naik ke Lantai satu dengan menggunakan Lift Service. Di lantai satu pintu Lift terbuka dan Mela keluar. Sekali lagi Dia melihat Wulan tengah berdiri di lantai satu dekat Lift person. Kini memandanginya dengan tatapan yang sangat aneh. Mela masih tak terlalu peduli dan kembali berjalan cepat menuju Toilet.
“Mela!” panggil Seseorang dari arah belakang yang ternyata adalah Hera.
“Ah Ucrit, Lo ngagetin Gue saja,” gerutu Mela kesal.
“Mel, temenin Gue nggese Toilet bentaran dong. Gue takut sendirian.”…
“Lo ngga ngliat Gue belum ngerjain apa-apa. Gue telat hari ini Crit!”
“Kalo gitu Gue bantuin Lo ya?. Tapi setelah ini Lo temenin Gue!”
“Ya udah buruan bantuin Gue!”
“Ya!.”
Hera mulai mengerjakan sebagian tugas Mela. Sesaat Mereka saling diam dengan kesibukan masing-masing.
“Lo sudah denger berita hari ini belum Mel?” Tanya Hera.
“Berita apaan?” Tanya Mela balik.
“Si Wulan. Dia kan meninggal malam ini.”
“Apa!. Yang bener Crit?”
Sontak Mela sangat terkejut. Dia berhenti menyikat lantai dan terdiam tegang.
“Ih..serem tau Mel. Gue aja baru denger tadi pagi. Katanya semalem Dia muntah darah dan kejang-kejang. Seluruh badannya membiru hingga akhirnya Dia meninggal,” kisah Hera.
“Bukannya kemaren Dia sehat-sehat saja kan ya Mel?”
Mela masih terdiam cemas. Wajahnya menjadi pucat. Bukan Dia sangat sedih atau sangat kehilangan dengan kematian Wulan. Tetapi karena pagi ini Mela dua kali melihat Wulan di Gedung ini. Dan kata Hera Wulan telah meninggal sejak semalam. Terlebih, Mela masih ingat kejadian kemarin malam yang sangat mengerikan itu dan pasti ada hubungannya dengan kematian Wulan.
“Mel… Mela. Lo denger ngga sih?” panggil Hera.
“Mela, Lo kenapa sih?. Jangan bikin Gue takut ah!” keluhnya.
“Ngga kenapa-kenapa Crit. Gue kaget aja mendengar berita Kematian Wulan yang tiba-tiba itu,” ucap Mela pelan.
Kini Mela berpindah membersihkan wastafel. Saat Dia akan mengelap cermin, tiba-tiba Dia kembali melihat Nenek Tua itu. Kali ini Dia tengah menjilati leher dan pipi Hera. Lidahnya sangat panjang dan menjulur-julur. Sungguh mengerikan.
Mela menjadi sangat ketakutan. Dengan gemetaran dan jantung berdetak kencang, Dia hanya diam dan melangkah mundur perlahan kemudian menarik keras tangan Hera dan membawanya keluar Toilet. Hera yang tak tahu apa-apa menjadi kebingungan. Di depan Lift Service Mela berhenti berlari dengan nafas terengah-engah. Dia menekan tombol turun berulang-ulang. Hera juga masih bingung dan mulai ketakutan walau Dia tak tahu apa-apa.
“Ada apa sih mel. Gue takut tahu.”
Mela diam saja tak mempedulikan pertanyaan Hera. Dia melihat penunjuk lift yang menunjukan Lift masih berada dilantai tiga. Dengan cemas Mela menunggui Lift turun dengan agak tidak sabar.
Penanda Lift menunjuk angka satu. Beberapa saat kemudian pintu Lift terbuka. Saat Mela akan masuk kedalam, Dia kembali melihat Nenek Tua itu. Kali ini bersama Wulan. Tangannya mencengkram kuat leher Wulan yang sepertinya sangat kesakitan dan tak berdaya.
Dengan cepat Mela memeluk Hera dan menyembunyikan mukanya. Jantungnya berdetak lebih kencang lagi. Hera yang tak melihat apa-apa pun ikut ketakutan dan hampir menangis. Karena tak ada yang masuk kedalamnya, beberapa saat kemudian Lift itu kembali tertutup.

No comments:

Post a Comment