Monday, February 15, 2010

D' Creams

Dengan setengah gontai Els mesuk kedalam Apartementnya. Dilemparnya begitu saja sweter dan kacamata yang baru dilepasnya. Dia melihat meja kerjanya yang masih sama seperti sehari yang lalu. Berantakan, berbeda dengan sisi selainnya, bersih dan rapih. Samar telinganya mendengar keriuhan kecil dari kamar mandi.
“Sinta, Kaukah itu?”
“Tak ada sahutan atas panggilannya. Els mengulang panggilannya.
“Sinta, Kaukah itu?”
Masih tak ada sahutan atas panggilannya. Els merayap mendekat. Perlahan disentuhnya daun pintu kamar mandi itu. Baru Dia akan membukanya, Seseorang menariknya dari dalam. Sontak terkejutlah Els. Begitu juga Orang yang akan keluar dari kamar mandi itu hingga terjatuhlah beberapa benda yang dibawanya.
“Maaf, Saya tidak sengaja Pak. Saya akan segera membersihkannya.”
Dengan cepat Petugas kebersihan itu merapihkan kembali alat-alat kebersihan yang berjatuhan dan segera mengeringkan cairan pembersih yang juga mengenai Els yang hanya mengenakan kaos tipis. Sekali lagi petugas kebersihan itu memastikan kalau Tuannya tak kenapa-napa dan tak marah padanya. Hanya sekali saja Dia menggernyitkan dahinya.
“Rupanya Kamu Rasmi. Kenapa tak menyahut?”
“Maaf, Saya tak mendengar panggilan Bapak. Saya sedang membersihkan kamar mandi,” jelasnya.
“Sehari yang lalu Saya tidak masuk, Anak saya sakit panas dan harus dibawa ke Puskesmas,” sambungnya.
“Begitu,” tanggap Els ringan. “Apa ada yang mencari atau menanyakanku?”
“Tidak pak. Tapi ada telephon dari Ibu Diana. Dua kali” imbuhnya.
“Apa ada pesan dari Dia?”
“ Tidak Pak. Dia hanya menanyakan kapan Bapak kembali dan Kujawab hari ini.”
“Hemm..,.Ya sudah. Nanti kalau ada yang mencari atau menelephon, katakan kalau Aku sedang sangat sibuk.”
“Baik Pak.”
Els masuk kedalam kamar mandi yang baru dibersihkan itu. Dengan tergesa Dia menaikkan kaos yang dipakainya hingga keatas perut.
“Oh…Shit!. Perih sekali,” rintihnya sambil meniupi luka diperutnya yang belum kering dan menyiramnya dengan cairan Alkohol. Dari cermin Els melihat raut mukanya yang semakin tirus dan pucat. Akhir-akhir ini Dia memang selalu sibuk dan kurang istirahat. Els membasuh mukanya kemudian keluar dari kamar mandi. Rasmi, petugas kebersihan itu sudah tak terlihat lagi Olehnya.
“Maaf Pak, ada Telephon.”
Tunjuk Rasmi dari arah belakang Els sambil menyodorkan gagang telephon padanya. Sekali lagi Els dibuat terkejut Olehnya.
“Tak bisakah Kamu tidak membuatku kaget Rasmi!”
“Mafkan Saya Pak.”
“Dari Siapa?” tanya Els agak kesal.
“Dari Ibu Diana.”
“Sudah Kau bilang kalau Aku sedang sangat sibuk?” tanyanya lagi dengan lebih gusar.
“Sudah Pak, tetapi Dia mendesak dan sepertinya sangat penting.”
Els berfikir sejenak
“Baiklah,” Els mengambil gagang telephon yang disodorkan kepadanya.
“O..ya Rasmi. Setelah ini tugasmu selesai, tetapi sebelumnya buatkan Aku kopi dan taruh di tempat biasa.”
“Baik Pak,” jawabnya patuh kemudian meninggalkan Tuannya yang mulai berbincang dengan Orang dibalik Telephon itu.
“Ada apa An?” Tanya Els pada Diana dibalik Telephon.
“Els cepatlah kemari. Ada sesuatu yang harus Kau lihat,” ucapnya gugup.
“Sekarang Aku masih sibuk. Tunggulah dua sampai tiga jam lagi.”
“Tapi itu terlalu lama dan Aku…Aku takut sekali.”
“Apa ini tentang Arby. Apa Dia berbuat ulah lagi?”
“Tidak. Sama sekali…, semoga bukan,” jawab Diana ragu.
“Semoga?, apa maksudmu dengan semoga?”
“Aku tak bisa menjelaskannya lewat telephon Els. Tapi yang pasti benda-benda ini sangat mengerikan.”
“Benda apa yang Kau maksud?”
“Entahlah. Jantung dan… sepertinya Hati. Kumohon cepatlah kemari Els!”
“Bagaimana dengan Arby, apa Dia sudah Kau hubungi?”
“Sudah. Aku telephon ke Kantornya tetapi Dia sudah keluar sejak siang. Phonselnya pun tak aktif.”
“Baiklah. Tunggu Aku sekitar sejaman lagi.”
“Demi Tuhan Els!, kenapa Kau tak sigap dengan ketakutanku. Els! Kau…’”
Suara benturan gagang telephon mengakhiri perbincangannya dengan Diana. Els tampak tenang saja di ruang kerjanya. Diputarnya kekanan dan kekiri kursi tempatnya duduk, sambil Dia melemaskan urat-uratnya yang kaku. Sudah seminggu ini Els memang tidak menghubungi Diana, sekedar untuk menanyakan kabarnya seperti biasanya. Telephon dari Dia ke Phonselnya pun tak pernah diangkatnya.
Sebenarnya Els tahu sekali Diana bukanlah Wanita yang mudah menyerah pada keadaan. Tetapi sikap terlalu mengalah dan mudah memaafkan Arby, Suaminya yang jelas-jelas telah melakukan kesalahan membuat Els muak dan jenuh mendengar keluh kesah Diana tentang Arby yang akhir-akhir ini menjadi acuh dan tak segan melayangkan tamparan, setiap kali Mereka memperdebatkan satu persoalan. Tetapi yang terjadi adalah Diana bukannya melawan atau membencinya, melainkan seperti ketakutan akan kehilangan Arby. Dan melupakan kejadian itu begitu saja. Sangat menyedihkan menurut Els.. Terlebih akhir-akhir ini Diana lebih suka berpura-pura bodoh dan sekan-akan tak tahu yang telah diperbuat Suaminya diluar sana dan memaafkan Arby begitu saja hanya dengan sedikit alasannya yang tak jelas. Tapi Dia adalah Diana, perempuan yang selalu membuat Els simpatik.
“Ah…, untuk apa Aku masih peduli padanya?”
Tetapi Els tetap tak bisa tenang. Akhirnya Dia beranjak dan memakai kembali Sweter dan kacamata yang baru dilepasnya. Secangkir kopi panas kesukaannya di meja balkon pun tak lagi dihiraukannya.
Seperti kebetulan saja ketika Els akan masuk kedalam mobilnnya, Krisna yang baru keluar dari Taxi memanggilnya dengan lantang.
“Els..!” panggilnya sambil berjalan cepat kearahnya.
“Baru saja Aku akan menemuimu. Sepertinya Kau sedang buru-buru.”
“Ya. Ada hal mendesak yang mengharuskanku segera datang.“
“Kalau begitu Aku minta waktumu sebentar. Ada yang ingin Kusampaikan padamu.”
“Tentang apa? Katakan saja. Aku sangat buru-buru!”
“Tentang Arby.”
“Kenapa dengan Arby?”
“Arby ditemukan tewas sore ini,” ucap Krisna sambil mengikuti Els yang masih terlihat buru-buru.
“Apa!”
Seketika Els berhenti. Menutup pintu mobilnya kembali dan menatap tajam kearah Krisna. Tapi jelas Krisna tak sedang bercanda.
“Ya. Seseorang telah membunuhnya. Polisi sedang mengusut kasus ini,” Krisna menatapnya penuh harap.
”Setelah Kau tahu, apa Kau masih tetap akan pergi dengan urusanmu?”
Sejenak Els terdiam mencoba menimbang-nimbang. Sesekali matanya beradu pandang dengan Krisna yang masih berdiri dihadapannya.
“Sebenarnya Aku akan kerumah Arby. Baru saja Diana menelphon dan memintaku segera datang.”
“Kalau begitu Kita kesana bersama. Bila tak keberatan Biar Aku saja yang menyetir mobilmu. Aku tak pernah sabar jika Kau yang menyetir,” pintanya
“Baiklah.”
Els dan Krisna pun masuk kedalam mobil dan meninggalkan Apartement Els, menuju kediaman Diana.



* * *





Tiga goresan memanjang dipipinya. Luka bekas cakaran jari-jari berkuku panjang yang sangat menjijikan. Tetapi bukan kuku-kuku itu yang sangat menjijikan bagi Diana melainkan pemilik kuku-kuku itulah yang sangat lebih menjijikan, walau dibanding dengan Ulat belatung yang menggerumuti bangkai tikus Got, yang mengapung di atas air selokan sekalipun. Di sisi kebenciannya, hatinya berharap kalau sangkaannya salah bahwa Wanita itulah yang telah beberapa kali merayapi tubuh Suaminya.
Diana membuka kain penutup Jenazah Suaminya. Terlihat jelas luka bekas tusukan yang telak mengenai leher kirinya hingga tembus ke leher bagian kanannya. Lebih kebawah lagi Diana melihat luka sayatan yang menganga hingga terlihat tulang iganya yang hampir mencuat keluar. Melihat kondisi yang sangat mengerikan itu, dengan cepat Diana menutup kembali kain penutup Jenazah Suaminya dan menghambur keluar sambil terisak pedih.
“Ana, Kau baik-baik saja?”
Els yang baru tiba dirumah sakit bersama Krisna segera mendekap tubuh Diana yang gemetar.
“Maafkan Aku karena tak sigap dengan permintaanmu,” sesalnya.
“Aku baru dari Rumahmu tetapi Kau sudah tak ada.”
“Demi Tuhan terkutuklah Orang yang telah mencelakainya.”
“Tenanglah. Polisi akan mengusut tuntas kasus ini dan segera menangkap pelakunya.”
“Aku tak bisa lebih puas bila hanya sekedar melihatnya tertangkap. Aku sama sekali tak menyangka kalau hati dan jantung yang Kutemukan di lemari pakaian adalah Organ dalam milik Arby. Oh Tuhan…, itu pasti sangat menyakitkan!”
“Tapi setidaknya kesakitannya telah berlalu dan Dia tak merasakannya lagi. Aku tahu kepedihan yang Kau rasakan saat ini, tapi iklaskanlah.”
“Els benar. Sekarang Kita berdo’a saja semoga Arby tenang disisi-Nya,” sela Krisna mencoba ikut menenangkan Diana.
Seorang Polisi datang menghampiri Mereka.
“Selamat malam!. Apa benar Anda Ibu Diana, Istri korban?” tanya Polisi itu dengan sopan dan tegas. Diana hanya mengangguk.
“Kami ikut berduka atas Tragedi yang Suami Anda alami,” ucapnya.
“Dan Kalian?”
“Saya Elsander dan ini Krisna. Kami teman Almarhum Korban dan Istrinya.”
“Sepertinya Kalian sangat dekat. Kalau begitu dengan Hormat Saya minta Saudara-saudara bersedia memberikan informasi guna penyelidikan lebih lanjut.”
“Tentu saja,“ jawab Els.
“Baiklah. Silahkan ikut Saya, “ ucap Polisi itu mempersilahkan Mereka ikut bersamanya.


* * *























Perempuan itu duduk mendekap kedua lututnya. Diana menatapinya dengan penuh kebencian. Tak jauh darinya Krisna masih memandangi pemandangan tak biasa itu.
“Kamu!, kemarilah.”
Perempuan itu hanya mendongakan mukanya. Matanya menatap lemah. Dan Dia kembali tertunduk.
“Ya, Kamu Perempuan jalang!” tunjuk Diana lagi.
“Sungguh bukan Aku yang melakukannya,” jawabnya langsung dengan pelan.
“Aku tahu Kau tak sendirian melakukannya,” ucap Diana sinis.
“Tapi bukan Aku yang melakukannya, dan Aku tak pernah melakukannya,” bela Perempuan itu lagi namun tak terlalu berharap Orang yang menuduhnya percaya.
“ bahkan Aku tak mengenalnya,” sambungnya lemah.
“Aku tak percaya padamu. Berapa kali Kau tidur dengannya dan berapa Kau dibayar?”
Perempuan itu tak menjawab dan tak bereaksi.
“Aku tahu kesedihan dan ketakutanmu saat ini hanya pura-pura belaka. Siapa yang membayarmu untuk melakukannya?”
“Aku memang Perempuan rendah tapi Aku berkata benar. Demi Tuhan, bukan Aku yang membunuhnya.”
“Sangat tak pantas kata Tuhan keluar dari mulut kotormu itu!”
Kata-kata Diana yanbg pedas membuat Perempuan itu kembali tertunduk dan mulai menangis. Sejenak Diana masih berdiri meperhatikan Perempuan itu hingga Seorang Polisi yang sama menghampiri dan memintanya masuk kembali keruangannya. Kini giliran Krisna yang menghampiri Tralis besi tempat Perempuan itu dikurung.
“Sungguh Kau tak mengenalinya?” tanya Krisna santai.
“Ya. Aku berkata benar. Yang Aku tahu Dia Lelaki yang mengajakku kencan dan akan membayarku seperti Lelaki-lelaki lain. Tak lebih.”
“Tetapi di Tempat itu hanya ada Kau, dan serpihan kulit dikukumu adalah miliknya.”
“Memang Aku yang mencakar mukanya. Tetapi itu Kulakukan karena dia bermain kasar dan menyakitiku.”
“Lalu apa yang Kau ketahui untuk membuktikan bahwa bukan Kau yang membunuhnya?”
Peremppuan itu menggeleng. Krisna menghembuskan nafasnya pelan kemudian berbalik.
“Bahkan Kau tak mempunyai Aliby untuk mebuktikan bahwa Kua tidak bersalah,” ucap Krisna sambil berjalan menjauh dari Tralis. ”Padahal Aku percaya bukan Kau yang melakukunnya.”
Perkataan Krisna membuat Perempuan itu tercengang dan menatapi punggung Krisna.
“Tunggu!” panggil Perempuan itu. Krisna berbalik dan kembali mendekat.
“jika Kau benar percaya padaku, Aku akan memberitahumu sesuatu.”
“Apa itu.”
“Tapi bagaimana Aku harus percaya padamu. Aku baru kenal kau lima menit yang lalu.”
“Kalau begitu percayalah pada kata hatimu.”
“Baiklah,” Perempuan itu menatap mata Krisna dan mulai bercerita.
“Sebelum Aku benar-benar tak sadarkandiri Aku melihat Mereka.”
“Mereka ?. Siapa Mereka?”
“Aku tak mengenalinya. Tapi Mereka Seorang Lelaki dan Seorang lagi Perempuan.”
“Apa Kau melihat satu ciri atau benda yang bisa mencirikan Mereka?”
Perempuan itu menggeleng. Krisna kembali melepas nafas pendeknya.
“Tidak. Hanya saja…”
Perempuan itu tak melanjutkan kalimatnya.
“Hanya apa?. Katakanlah dan ini akan sangat membantumu.”
“Aku takut mengatakannya. Aku tak ingin Dia memcelakaiku juga.”
“percayalah padaku, Kau akan aman.”
“Bagaimana Aku bisa percaya. Kau tak punya jaminan Aku akan aman bila cerita padamu?”
“Aku memang tak punya jaminan, tapi ku janji akan menolongmu keluar dari tempt ini bila Kau memang tak bersalah.”
Perempuan itu sejenak menimbang-nimbang.
“Baiklah, Aku percaya padamu. Mendekatlah. Aku akan memberitahumu sesuatu hal padamu,” ucapnya. Krisna mendekat dan Perempuan itu membisikan sesuatu padanya.
“Jadi ini perempuan jalang itu!” ucap Els tiba-tiba dari arah belakang Krisna.
“Ya. Tetapi baru tersangka. Belum terbukti. Dimana Diana?”
“Ada!”
Tak lama kemudian Diana keluar dari ruang penyidik bersama Seorang Polisi dan bergabung dengan Mereka.
“Terimakasih atas kesediaan Kalian memberikan informasi. Kalian boleh pulang. Tapi guna penyidikan lebih lanjut Kami akan minta bantuan Kalian kembali, jadi..sewaktu-waktu Kami akan menghubungi Kalian.”
“Dengan senang hati Kami pasti akan memenuhi panggilan Anda,” jawab Els.
“Anda cukup menelephon atau mengirimi Kami surat panggilan, Kami pasti akan datang,” imbuhnya.
“Anda Warga yang baik. Terimakasih dan silahkan…”



* * *


















“Hati-hatilah Kris!. Ini sama sekali tak menyenangkan!”
“Tenang saja Els. Kau tahu Aku cukup handal mengemudi-kan?”
“Tapi ini membahayakan Orang lain dan diri Kita tentunya.
“Aku mulai mual.”
“Kurasa Kau tak hanya mual Els, tapi juga takut kan?”
“Sedikit. Tapi Aku akan sangat menyesal bila Mobilku tergores sedikit saja karena ulahmu ini!”
Krisna sama sekali tak mengindahkan Els yang mulai cemas. Dan sepertinya Krisna sangat menikmatinya. Saat sesekali Mobil mengelok tajam, Els mencengkeram erat Handel pintu dan Dastboart, sedang Krisna hanya tersenyum puas.
“Kau sadar saat ini Kita lebih mirip seperti remaja yang sedang bersenang-senang, Kris. Sedang Kau tahu sendiri Kita sedang berduka. Tidakah Kau simpatik pada Diana Kris?”
“Tenang saja, Diana tak melihat Kita. Dan Arbi.., Aku tak yakin Dia masih peduli pada urusan Duniawi!” ucap Krisna seronok.
“Atau Kau sangat ketakutan Els. Aku tak yakin Orang sepertimu punya rasa takut.”
“Kau pikir Aku bukan Manusia!. Aku tak mau mati konyol!”
“Tenang saja, jalan ini cukup sepi. Kau pakai saja sabuk pengamanmu.”
Els meraih sabuk pengamannya dan berupaya mengaitkannya. Sesekali pandangannya terfokus kedepan, memastikan tak ada sesuatupun yang akan diterjangnya.
“Kurasa Kita salah jalan Kris. Seharusnya tadi Kita belok kiri.“
“Tidak. Aku hanya memutar.”
“Tapi ini memperjauh jarak menjadi hampir dua kali lipat.”
“Begitu. Baiklah…!”
Krisna menginjak rem keras-keras dan memutar kendali hingga berbalik arah Saat itu Els dapat merasakan tubuhnya seperti terdorong kedepan dan sabuk pengamannya seperti melilitnya.
“Kau hampir membunuhku Kris!” ucap Els geram.
“Tapi Kau masih hidup kan?” tanggap Krisna meledek. Krisna menatap Els kaget.
“Els, Kau berdarah!“
“Oh Tuhan !. Jahitan luka diperutku robek“.
Els sendiri pun terkejut.
“Maafkan Aku. Aku tak tahu Kau sedang terluka Els.”
“Kau baru sadar pada kesalahanmu rupanya!”
Els memegangi lukanya yang semakin berdarah.
“Sepertinya lukamu serius. Biar Aku melihat lukamu supaya bisa memberimu pertolongan pertama.”
“Tak usah. Antarkan saja Aku ke Klinik terdekat.”
“Tapi Els…”
Els menatap Krisna tajam.
“Baiklah.”
Krisna melajukan kembali Mobil Els.
“Apa ini sangat sakit Els?”
“Tak terlalu. Tapi setidaknya ini jauh lebih sakit dari saat Kulub Kita dipotong,” jawab Els sambil tertawa kesal. “ Tentu saja ini sangat sakit.”
“Maafkan Aku Els. Sebenarnya Aku hanya sedang membayangkan seperti apa kesakitan yang dirasakan Arby waktu itu.”
“Dan Kau menjadikan Aku Obyeknya!”
“Kuakui…, ya!”
“Kau sangat keterlaluan Kris! Aku jadi berfikir bahwa seperti Kau saat inilah pisikopat itu pada waktu Arby meregang keakitan.”
“Pisikopat atau pembunuh?”
“Apa bedanya?”
“Hampir tak ada, tapi sangat berbeda. Pembunuh menghabisi nyawa korbannya tanpa perencanaan, sedang Psikopat menghabisi Korbannya dengan perencanaan yang matang dan dengan motif tertentu. Dan Els…, Aku geli mendengar tuduhanmu itu”
“Apa maksudmu?”
“Tak ada.Sudahlah tak perlu dibahas lagi.”
Krisna menghentikan laju mobilnya.
“Els , kurasa Kita kena tilang!”
“Sepertinya ya. Ini pasti karena Polisi-polisi itu melihat ulah konyolmu tadi”
“Tenang saja. Polisi-polisi itu urusanku. Kita pasti aman.”
Els masih memegangi luka diperutnya yang terus mengeluarkan darah. Sedang Krisna melindungi matanya dengan telapak tangannya dari silau sorot lampu mobil Polisi yang berhenti tepat didepan Mereka.
“Tunggu disini. Aku akan bernego dengan Polisi-polisi itu.”
“Cepatlah. Kurasa Aku mulai gemetaran karena lukaku ini.”
Krisna keluar dari mobil menghampiri dua Polisi yang juga keluar dari mobil berlampu atap itu. Mereka tampak berbincang serius. Els hanya mengamati dari dalam mobilnya. Dia meraba-raba kantong celananya dan meraih Phonselnya. Dari Callist Dia menghubungi Seseorang yang tak lama kemudian tersambung.
“Sinta, Krisna telah tahu. Dia menjebakku. Kau masih ingat pelacur itu?, tangani Dia. Kau harus bisa melindungiku. Dan Rasmi, Kau tentu tahu apa yang harus Kau lakukan padanya. Dia sangat berbahaya.. Dan Kau sendiri, hati-hatilah…”
Els mengakhiri perbincangannya dengan Sinta. Dia mematahkan Chip di Phonselnya dan membuangnya kesemak-semak Lalu menggantinya dengan Chip kartu lain. Beberapa saat kemudian Krisna kembali dengan dua Polisi itu.
Dia sangat terpukul melihat Els akhirnya pindah ke Mobil Polisi itu. Krisna hampir menyesal karena kekompakannya dengan Polisi-polisi itu, tetapi Dia yakin kalau yang Dia lakukan benar. Dan Els, tak sepatah katapun diucapakan untuknya, serapahnya sekalipun. Hanya tatapan dendam dan kekecewaannya pada Krisna yang sangat dalam.


* * *

No comments:

Post a Comment