Monday, February 15, 2010

BHIYUNG ( Cahaya Yang Selalu Abadi )

Masih terlalu dini untuk sang Mentari menampakan wujudnya. Basah angin malam pun masih lekat dikulit ari. Mata-mata lelap. Mata-mata terjaga. Siur terdengar sahutan kokok Ayam Jantan melengking di kejauhan yang senyap. Mata-mata yang telah melupakan kelelahannya pun mulai terbuka, dan semakin melebar bersama menyalanya sumbu lampu Teplok di keremangan.

Kaki langsing tak beralas menapak pelan dikelembaban lantai tanah. Tanganya yang mulai keriput menggeser pintu geladak yang telah lusuh kering. Tak lama kemudian Dia kembali dengan membawa seikat kelari, daun nyiur yang telah kering dari kandang belakang rumah dan masih bersinarkan nyala lampu teplok yang melengak-lenggok digoyang tepisan angin pagi.

Patahan ranting dan kayu-kayu kering mulai terdengar. Sekarang Dia telah menyalakan kelari yang diambilnya dari kandang belakang. Maryati telah terbangun. Dia melihat dari sela-sela anyaman bambu dinding kamarnya. Tungku telah membara oleh kobaran api. Maryati masih berbaring di tempat tidurnya. Di tolehnya Seno, Adik Lelakinya yang masih lelap. Meringkuk didalam sarungnya. Dikelelapanya yang tenang, mimpi-pun tak berani mengusiknya. Namun tetaplah Maryati harus mengusiknya. Dia mengusap muka Seno sambil mengguncang-guncang badannya dengan pelan. Seno menggeliat meluruskan tangan dan kakinya. Matanya setengah terbuka, kemudian duduk diam diatas dipan yang hanya beralaskan tikar anyaman Eceng gondok penghangat dari pelupuh bambu.

“Bangun sudah pagi!”

Suruh Maryati sambil melipat selimut tidurnya yang semakin menipis lalu menaruhnya diatas bantal yang sudah lepek dan tak empuk lagi. Maryati beranjak menuju dapur yang sudah ada kehidupan. Disana Mbok Sainten sedang memotong-motong rebusan daun singkong yang akan dimasak dengan siraman air santan kelapa.

“Seno sudah bangun?” tanya Mbok Sainten.

“Sudah itu sedang mengumpulkan Nyawa,” jawab Maryati glamour.

“Huss..ngumpulin nyawa, memang nyawa Adikmu ada berapa?. Ambil Whudu sana terus ajak Adikmu Sholat Shubuh.”

“Bhiyung sudah Sholat?”

“Sudah, tadi sebelum Kamu bangun.”

Maryati segera bergegas kesumur di samping Rumah. Suara kokok ayam jantan masih terdengar bersahutan. Udara berkabut masih setia menyelimuti. Di langit bulan penuh masih belum terkalahkan. Bintang-bintang juga masih berkedip-kedip didekat sisa-sisa waktunya. Sesekali melintas pijaran bintang jatuh yang meluncur cepat dan menghilang tanpa bekas.

“Andai saja benar kata Orang-orang kalau Dia adalah untuk satu permintaan yang akan terkabul, permintaanku tak terlalu muluk. Kami ingin Hidup bahagia didunia ini dan Bapak yang sedang menunggu Kami melihatnya hingga hingga kami dan Dia bisa kembali berkumpul dialamnya yang kekal. Jika waktunya telah tiba…”

Maryati membuka tutup kendi yang telah berisi penuh air khusus untuk berwudhu. Tak lama kemudian Seno menyusul keluar dari dapur dengan dituntun oleh Mbok Sainten. Mukanya masih lesuh dan mengantuk.

* * *

Waktu seperti cepat sekali bergulir. Diluar sudah mulai terang oleh cahaya Matahari pagi dan mulai mengangkasa. Mbok Sainten telah mengenakan pakaian kesawahnya dengan berbekal sebungkus nasi Bontot dan seperangkat alat mengangsaknya. Diemper depan Rumah, Seno telah siap dengan seragam Biru putihnya. Dia kembali harus menunggui Aris, teman sekelasnya untuk berangkat bersama. Ban sepeda Seno kembali bocor. Ini untuk kesekian kalinya dan masih menginap di bengkel dekat Sekolahnya. Maryati-pun sedang bersiap ketempat kerjanya. Dari ruang depan Dia memandangi Adiknya dengan iba. Saat ini Dia memang tak bisa berbuat banyak kecuali hanya terus menyemangatinya untuk terus Sekolah. Bahkan untuk membelikan ban sepedanya-pun masih belum bisa. Uang gajinya telah ludes untuk menutupi kebutuhan harian bulan ini. Bonus yang biasanya didapat dari merawat kebun bunga juga sedang sangat minim. Pesanan Bunga dari Kota sedang menurun.

Sepeninggal Bapaknya Maryati memang menjadi tonggak kedua setelah Ibunya. Mereka harus terus bekerja untuk dapat menikmati Nasi, karena sepetak sawah yang Mereka miliki telah terjual untuk berobat Bapaknya yang pada akhirnya tak tertolong juga dari penyakitnya. Maryati dan Ibunya sangat kehilangan waktu itu. Seno masih terlalu kecil untuk bisa mengerti.

Bila saja Maryati bisa mengupas kulitnya untuk diuangkan Dia iklas melakukannya demi kesembuhan Bapaknya. Tentu saja semua itu tak mungkin.

Terdengar suara motor yang sangat Dia hafal. Retno Adi. Pria yang setiap pagi menjemputnya untuk mengantarkan ke tempat kerjanya. Saat itu Seno dan Aris baru akan mengayuh sepedanya, ketika Retno menghentikannya lalu memberikan sesuatu pada Seno yang pada akhirnya diterimanya juga walau sempat Dia menolaknya.

Maryati yang memang sedang menunggunya segera keluar dan menghampiri Retno. Dia tak langsung membonceng motor pada Retno yng telah siap berangkat.

“Maaf Mas, tadi Aku melihat Kamu kembali memberi uang pada Seno,” ucapnya.

”Bukan Aku melarangnya tapi terus terang Aku kurang suka kalau Kamu terlalu sering memberi uang pada Kami,” sambung Maryati.

“Aku memberinya karena Aku tahu Seno sedang membutuhkannya. Lagi pula tak Cuma-Cuma, Uang itu sebagai upah karena kemarin Dia telah mengantarkan bunga pesanan untuk Puskesmas tempat kerjaku.”

“Tapi Seno adalah Adiku dan Aku tak suka kalau secara tak langsung Dia menjadi bergantung dan mengharap pemberian Orang lain.”

“Lalu apa benar bila Aku diam saja, sedangkan Aku tahu sepeda satu-satunya kendaraan Seno kesekolah rusak!”

Maryati terdiam memandangi wajah Retno yang tidak sedang bercanda.

“Maafkan Aku Mas. Aku hanya ingin Mas memberitahuku terlebih dahulu bila akan memberi sesuatu apapun pada Kami.”

Maryati terdiam. Retno pun terdiam. Mereka sama-sama terdiam selama beberapa waktu.

“Baiklah. Aku juga minta maaf. Ayo berangkat nanti kesiangan.”

* * *

Hari telah siang. Mbok Sainten beristirahat bersama kaum Ibu seprofesinya sebagai pengangsak padi, di bawah sepotong daun nyiur yang ditancapkan di tumpukan damen. Bekas peneduh Seorang Bapak tua yang telah selesai merontok padi dengan alat perontok manualnya.Wajah Mbok Sainten yang coklat tanah semakin memerah oleh terik matahari yang semakin menyengat. Diminumnya beberapa teguk air dari botol mineralnya yang selalu diisinya kembali dengan rebusan air sumur. Bersama Kaum Ibu yang lainnya Dia pun membuka bekal Nasi bontot, yang dibungkus dengan daun pisang. Hanya berlaukan tempe goreng dan rebusan daun singkong yang sengaja disisakan dari yang telah ditumis pagi tadi. Tak ayal Mereka pun saling mencicipi dan bertukar lauk. Mbok Sainten pun ikut menikmati ikan gabus dan balado terong yang lezat.

Dari kejauhan terdengar suara mesin penggilas yang sudah mulai merontok padi di tegalan sawah. Sebagian dari mereka segera bergegas dan menghampiri mesin itu. Sedang Mbok Sainten masih berkipas-kipas dengan capingnya. Mbok Sailah Kakak perempuannya juga masih setia menemani teman seprofesinya sejak dulu. Dulu sekali. Saat ini kehidupan memang semakin sulit. Hanya mengumpulkan sisa rontokan padi saja harus berebut dengan yang lainnya. Bahkan sebagian dari Mereka adalah ibu-ibu muda yang tak gengsi lagi turun kesawah.

Zaman semakin maju. Teknologi semakin moderen sehingga pekerjaan semakin cepat terselesaikan. Namun kemajuan ini tak cukup baik untuk Seorang Perempuan buruh tani seperti Mbok Sainten yang tak setangkas waktu mudanya dulu. Mbok Sailah memasukan padi hasil mengangsaknya kedalam karung kecil yang hanya sedikit lebih banyak dari hasil mengangsak Mbok Sainten. Dia bersiap bergabung dengan yang lainnya.

“Ayo Ten kesana, nanti mesinnya keburu selesai,” ajak Mbok Sailah pada Adik Perempuannya.

“Sebentar Yu. Aku minum obat dulu, Kepalaku mulai pusing lagi.”

Mbok Sainten meminum obat sakit kepala yang selalu dibawanya.

“Ya sudah Kamu istirahat dulu. Nanti kalau sudah mendingan baru nyusul kesana.”

Mbok Sailah-pun beranjak menuju yang lainnya. Mbok Sainten masih duduk berkipas-kipas dengan capingnya.

Angin sepoi berhembus seakan menahannya untuk kembali kedalam kepengapan yang menjadi beringas itu. Kepengapan karena kepulan debu damen yang tertiup kencang dari mesin yang mengarah tepak ke para Ibu-ibu Pengangsak yang masih tetap gigih menahan sesak nafasnya. Walau kepalanya masih pening Mbok Sainten tetap berbenah. Sekali lagi Dia meminum obat sakit kepalanya yang memang tinggal sebutir itu. Diamatinya sisi tajam Ani-ani yang terlepas dari pengaitnya tadi pagi ketika sedang mengumpulkan sisa-sisa aritan padi yang tertinggal. Besi titikan yang biasanya dipakai untuk membersihkan sisa rontokan padi sudah jarang sekali dipakai. Sekarang sedikit sekali petani yang menggunakan alat perontok padi manual. Terlalu lama dan kurang bersih, itulah alasan para pemilik sawah yang biasanya menggunakan tenaga kaum buruh, memaksa Mereka menjadi kaum buruh angkut dengan lebih banyak mengeluarkan tenaga dan lebih sedikit upah yang Mereka terima.

Mbok Sainten beranjak menerobos bekas aritan damen-damen setinggi lututnya menuju mesin penggilas yang hampir selesai itu. Kepalanya semakin pening namun Dia harus tetap kesana jika ingin mendapatkan bagian sisa rontokan padi.

* * *

Bunga Dandelion yang selalu bersemi. Mekar rapih bagaikan hamparan permedani warna-warni. Merah, Kuning, Putih. Semua terlihat indah. Bunga Morning Glory yang selalu mekar dipagi hari sekarang sudah mulai menguncup kembali berganti dengan Every Prime yang mulai bermekaran. Didalam rumah kasa Maryati masih sibuk dengan pekerjaanya. Berdiri diantara tatanan rapih Bunga Violet berwarna Kuning-ungu yang selalu bersemi di bulan Mei dan Juni. Sekarang Dia sedang menyemprot dan membersihkan daun bunga Fringed Orchid yang berbunga berbentuk menyerupai Burung Merpati, yang juga bersemi di bulan Juni.

Diluar, tergesa Retno memarkir Motornya kemudian menemui Ibu Rika pemilik perkebunan bunga tempat Maryati bekerja.

“Maryati ada di Rumah kasa nomor lima, sebentar akan Kupanggilkan.”

Pemilik Perkebunan itu pun masuk ke dalam tempat saat ini Maryati berada. Seketika Ibu Rika tersentak melihat Maryati yang sedang gugup merapihkan kembali Pohon Fringed Orchid kedalam pot yang baru saja Dia jatuhkan.

“Aduh Mar, Kamu apakan Bunga itu?”

“Maaf Bu, Aku benar-benar tak sengaja menjatuhkannya.”

“Ya sudah tidak apa-apa. Tapi lain kali Kamu harus lebih hati-hati, karena tanaman juga mahluk hidup yang perlu perhatian dan kasih sayang dari Kita,“ jelas Ibu Rika pada Maryati yang hanya mengangguk.

“Di luar ada Retno. Dia sedang menunggu Kamu sepertinya ada perlu penting,” kata Bu Rika pada Maryati. ”Ya sudah Kamu boleh langsung pulang, biar Ibu yang melanjutkan pekerjaanmu karena Ibu juga tidak ada acara sore ini.”

“Terima kasih Bu!”

Maryati berkemas dan menemui Retno yang masih menunggunya. Tanpa basa-basi ataupun bincang-bincang terlebih dahulu Retno langsung menyalakan mesin motornya dan mengajak Maryati pulang.

Sesampainya di rumah Maryati masih belum tahu apa yang telah terjadi. Hatinya semakin gelisah dengan adanya Orang-orang, para Tetangganya dan beberapa Kerabatnya. Dia takut kalau hal yang buruk telah terjadi. Dengan berpegang erat pada lengan Retno Maryati masuk kedalam rumah. Mbok Sainten tengah berbaring lemah di tempat tidurnya.

“Apa yang terjadi pada Bhiyung Mas?” tanya Maryati.

“Tekanan darah tinggi Ibumu kambuh. Tapi tenang dan berdo’a lah, Ibumu pasti akan baik-baik saja.”

Maryati mendekat dan duduk di samping Ibunya.

“Yung…Bhiyung tidak apa-apa kan?”

“Bhiyung tidak apa-apa, hanya sedikit kecape’an.”

Maryati memegang tangan Ibunya yang sangat dingin dan beberapa kali menciumnya. Air matanya mulai membasahi pipinya.

“Mar, itu Bapakmu sudah datang,”

Maryati tersentak kaget. Ucapan Ibunya barusaja benar-benar membuatnya sedih. Ditatapinya muka Ibunya yang memerah pucat seperti sedang menahan kesakitan.

“Nak Retno Ibu titip Maryati. Ibu mohon Kamu jangan menyakiti atau menyia-nyiakannya.”

Pinta Mbok Sainten pada Retno yang mengangguk patuh.

“Bhiyung nggak boleh ngomong seperti itu!”

“Dan Kamu Mar, jaga baik-baik Seno Adikmu. Dia adalah harapan Bapakmu. Bhiyung tidak sedang memaksamu, tapi Kamu harus berusaha menyekolahkan Seno hingga kelak Dia bisa mencapai apapun yang dicita-citakannya.”

Air mata Maryati semakin deras mengalir. Isakannya semakin jelas terdengar. Bercak air bening juga tampak dimata Retno yang memerah.

“Sudah Mar, jangan menangis terus. Bhiyung lelah,..Bhiyung ngantuk,..Bhiyung ingin istirahat. ‘’

“Yung, jangan tidur...jangan tidur dulu yung…!”

Tangis Maryati tak lagi didengarnya. Mata Mbok Sainten telah terpejam lelap. Lelap sekali, selelap tidur malam-malamnya saat melepas lelah setelah seharian bekerja disawah. Mungkin sudah saatnya Dia beristirahat. Tangis Maryati semakin tak tertahan. Disandarkannya kepalanya dipundak Retno yang juga ikut berduka walau tetap tenang dan terus menenangkan Maryati.

* * *

Jalanan aspal masih sangat hangat setelah seharian kepanasan. Seno semakin kencang mengayunkan kayuhan sepedanya didepan Aris yang juga bersepeda. Dia tak mempedulikan Aris yang terus memanggil-manggilnya agar menunggunya.

Seno berencana mampir dulu ditempak kerja Maryati, Kakaknya. Menunjukan pada Dia sepedanya yang telah berganti Ban baru luar dan dalamnya. Sekarang Dia tak perlu khawatir lagi berjalan di tengah perjalanan pulang atau berangkat kesekolahnya karena Ban sepedanya bocor.

Ternyata Kakaknya telah pulang lebih awal dari hari biasanya. Sekarang Seno ingin cepat sampai di Rumah dan ke Jembatan tempat Ibunya biasa menunggunya untuk membawakan sekarung kecil gabah hasil mengangsaknya.

“Kini Bhiyung tak perlu menungguku lagi, tapi Aku yang akan lebih dulu menungguinya,” ucap Seno dalam hati.

Akhirnya sampai juga di Rumah. Seno masih sangat bergembira tanpa menyadari atau mempedulikan tatapan Orang-orang yang mengikuti kemana arah berlarinya. Di dalam Rumah Dia melihat Kakaknya menangis sambil bersandar di pundak retno. Orang yang baginya sangat baik itu. Dia yang telah memberinya uang sehingga Dia bias mengganti ban sepedanya. Nampaknya Diapun sedang sangat bersedih. Dilihatnya Ibunya yang terpejam lelap. Seno berjalan pelan mendekat ke ranjang tempat Ibunya berbaring.

“Yung…Bhiyung.., Bhiyung kenapa Mba..?” tanya Seno sendu sambil mengguncang-guncang tubuh Ibunya yang tetap diam tak peduli.

“Yung…bangun Yung…bangun Yung…!” panggil Seno terus. Sekarang Dia telah cukup besar untuk mengetahui apa yang telah terjadi. Seno sangat paham Ibunya tak mungkin bangun lagi dan tersenyum padanya. Tanpa bisa menahan isaknya Seno pun menangis memeluk Jasad Ibunya.

“Bhiyung telah menyusul Bapak Sen..,. Kamu boleh menangis tapi untuk sekarang saja, setelah ini tak boleh lagi karena Bhiyung telah tenang di Alamnya. Mba yakin disana Bhiyung pun tidak sedang sedih karena Bhiyung sedang bersama Bapak yang telah lama menunggunya,” ucap Maryati.

“Kamu relakan Bhiyung menemani Bapak di Surga?” hibur Maryati pada Adiknya. Seno mengangguk sambil masih menangis memeluk Jasad Ibunya. Bhiyung yang sangat disayangi dan menyayanginya. Bhiyung yang selalu berjuang untuk Anak-anaknya. Bhiyung yang rela dan iklas menutupi kesedihan dan kepedihan dengan wajah gembiranya hanya supaya tetap dapat melihat Anak-anaknya bahagia. Tidurlah Bhiyung. Tidurlah dengan tenang. Kami akan selalu baik-baik saja menjalani hidup hingga saatnya tiba Kita berkumpul kembali dalam kebahagiaan yang kekal dan abadi.

* * *

No comments:

Post a Comment