Monday, February 15, 2010

BALADA KISAH SINGKAT

Belum juga ditemukannya sesuatu yang dicarinya. Sesuatu yang tak bernilai materi tetapi sangat berharga untuknya. Seingatnya Dia tak pernah menyimpannya ditempat lain selain dibawah tumpukan bajunya, sekalipun Dia selalu mengambilnya kembali untuk sekedar memastikan kalau Dia masih mengenalinya. Mungkinkah ada yang telah tanpa sengaja membuangnya karena mengira selembar foto usang itu tak lebih berharga dari sekedar sampah biasa. Sepertinya tidak. Mereka sangat tahu selembar foto itu sangat penting untuknya.

Hanya sedikit saja menolehkan kepalanya Lelaki setengah tua itu dapat melihat dengan jelas Seorang Pemuda yang masih meringkuk dibawah sarung selimutnya. Pemuda seumuran Putranya di kampung kelahirannya. Seperti Dia, Putranya pun hanya menyelesaikan pendidikannya setingkat SLTA saja dan kini telah bekerja disebuah pengisian bahan bakar minyak milik salah satu kerabatnya, tak jauh dari rumahnya. Uang bulanan yang diterimanya memang tak terlalu banyak, tetapi untuk perbandingan setaraf kehidupan di Kampung, Dia masih dapat menyisakan sebagiannya untuk disimpan. Bila dibandingkan, ketangkasan Putranya memang jauh berbeda dengan ketangkasan Pemuda yang baru tiga minggu ini dikenalnya sebagai tukang cuci piring di Restaurant tempatnya bekerja. Namun disisi selainnya, Dia seperti menemukan sesuatu yang tak asing dari masa lalunya.

“Sebenarnya Kamu niat kerja atau tidak. Pulang jam berapa Kamu semalam?”

Pemuda itu hanya sedikit bergerak merapatkan selimutnya. Sebenarnya Dia mendengar ucapan lelaki itu, tetapi di situasinya sekarang yang antara sadar dan mimpinya bibirnya seakan enggan mengucap sepatah katapun. Terdengar pula olehnya suara pintu lemari yang beberapa kali ditutup tetapi masih membuka juga. Akhirnya Lelaki setengah tua itu mengangkat kursi kayu dan meletakknannya sebagai penyangga.

“Semalam Aku mampir di tempat sejawatku hingga larut,” suaranya terdengar parau.

“ Sebenarnya.., mulai hari ini Aku tidak bekerja lagi di tempat itu,” sambungnya.

“Begitu” tanggapnya biasa. “ seharusnya Kamu menunggu hingga sebulanlah, agar mendapat upah penuh.”

“seharusya. Tetapi Aku tak minat lagi bekerja di tempat itu.”

“Minat!. Dijaman susah seperti sekarang ini Kamu masih memikirkan minat!”

“Ya. Mungkin ini suatu kekeliruan bagimu. Tetapi Aku tidak mau melakukan sesuatu yang tidak Kusukai.”

“Lalu kenapa Kamu melamar kerja ditempat itu, bila tak suka menjadi tukang cuci piring?. Seharusnya dengan ijasah dan pengalaman yang Kamu miliki Kamu bisa mendapat pekerjaan yang lebih layak.”

Pemuda itu bangun dan terduduk Telapak tangannya mengusap-usap kelopak matanya yang masih berat dan sesekali menutupi mulutnya yang menguap.

“Awalnya Aku memang sangat minat, karena di Restaurant itu Aku melihat semuanya seperti satu keluarga. Namun beberapa hari ini Aku merasa telah salah menilai. Di tempat itu Aku merasa tak ubahnya seperti budak.”

Dirasakannya ucapanya terdengar pedas. Dia memastikan mantan rekan kerjanya yang tampak tak senang dengan ucapannya.

“Maaf, sungguh Aku tidak sedang menyinggung atau merendahkan Anda.”

Ya. Setiap Orang punya pilihan dan pandangan hidup Sendiri-sendiri. Lagi pula tak ada yang memaksamu kerja di tempat itu. Dan Kau dibayar cukup.”

Pemuda itu melebarkan pandangnnya. Di dinding bergantungan beberapa pakaian yang telah dikenakan tetapi belum berbau masam dan akan dikenakan kembali. Beberapa benda berserakan dilantai yang kotor oleh abu rokok yang tercecer dari asbak.

“Apa boleh Aku disini hingga nanti sore?”

“Tentu saja,” jawabnya. “Setelah ini Kau akan kemana?”

“Ketempat Sejawatku, tak jauh dari sini.”

Lelaki setengah tua itu memakai sepatu kulitnya dan siap berangkat. Sedang pemuda itu masih duduk diatas kasur dengan selimut yang masih menutupi perut hingga kakinya.

“Mungkin setelah ini kita tidak akan bertemu lagi.” ucap Pemuda itu pelan. Lelaki setengah tua itu hanya tersenyum enteng.

“Enam belas tahun Aku di Kota ini. Sudah terlalu sering kutemui Orang-orang sepertimu, yang datang dan pergi. Jadi setelah ini Kita adalah diri masing-masing” tanggapnya ringan.

”Hari ini Aku pulang larut. Misal Kamu akan pergi, taruh kunci ditempat biasa.”

Pemuda itu tak lagi berkata apa-apa selain mengiyakan ucapan Lelaki setengah tua itu yang kemudian pergi meninggalkan biduknya.

* * *

Dengan pelan dijatuhkannya tas kulit dari jinjingannya. Terasa satu lengannya seperti memanjang dan sebelah pundaknya seperti melorot. Rupanya penghuni tempat yang Dia tuju belum kembali dari perburuannya. Pintu satu-satunya jalan masuk masih terkait gembok. Bahkan tak ada sesuatupun untuknya bertengger, untuk sekedar meluruskan kakinya. Hanya tepian bibir pintu selebar telapak tangannya. Namun cukup untuk menyangga bokongnya. Dan Dia-pun melemaskan kakinya.

Hampir dua jam ditempat itu, akhirnya muncul juga Sosok yang ditunggunya. Lelaki seumurannya dengan mengenakan jaket coklat yang menutupi kemeja warna birunya. Dan sepatu hitam yang sudah pudar dibawah setelan celana hitamnya.

“Akhirnya Kau berhenti juga!” ucapnya sambil membuka gembok pengait pintu.

Di jinjingnya kembali tas besarnya dan melangkah masuk. Direbahkannya badannya, dengan tas besar yang dibawanya sebagai penyangga punggung dan lehernya. Jempol kakinya menekan tombol power Televisi dan beberapa kali menekan tombol kecil lainnya hingga ditemukannya acara Televisi yang diinginkannya. Acara Reality show kehidupan yang sangat menyedihkan. Menyedihkan karena jadi tontonan umum, bukan karena menontonnya.

Sejawatnya menggantung kemeja kerjanya di paku pengait didinding dekat pintu. Raut mukanya yang tegas dan berminyak.., kini Dia lebih banyak diam. Kaos dalamnya pun masih belum kering oleh keringatnya yang siur tercium di hidung.

“Kau sudah mandi?”.

“Belum. Tapi Kau tidak sedang menawariku untuk mandi bersama kan!”

“Andai Kau Gadis penjaga toko didekat tempat kerjaku. Bilapun Kau menjelma menjadi Wanita cantik, Aku tak akan sudi.”

“Ya..ya!. Aku pun lebih memilih mendengus sisa aroma parfum di ketiak Wanita gemuk dari pada terus menahan nafas karena aroma badanmu yang sangat menyengat itu.”

Kali ini nampaknya Dia masih lebih baik dengan kemenangan celotehannya, walau Sejawatnya sama sekali tak merasa kalah atau tersinggung oleh ucapannya. Dia-pun berlalu untuk mencuci badannya.

Sejenak Dia mengamatinya yang berlalu keluar menuju kamar mandi di samping. Benarkah Dia telah menetapkan jalan hidupnya seperti sekarang ini. Inikah yang terjadi pada lelaki setengah tua itu dan mendiang Ayahnya?.

Ketokan lirih terdengar ditelinganya yang terjaga. Keriuhan di sebuah keluarga di salah satu kamar petak didepan kamar kost sejawatnya. Saat pintu terbuka, terlihat olehnya ruang remang dengan beberapa perkakas yang tak seharusnya bertengger ditempatnya seperti sekarang ini. Dibawah ranjang besi tinggi, dua Anaknya tengah tidur dengan masih mengenakan seragam Sekolah Dasar-nya. Dia melihat ukiran Burung Garuda bertuliskan Bhineka Tunggal Ika yang digantung diatas pintu, bergetar saat pintu ditutup dengan agak kencang. Tetapi tentu saja ukiran Burung Garuda penghias dinding itu tak terjatuh karena terkait kuat disana.

“Cepat sekali Kau mandinya?” ucapnya pada Sejawatnya yang telah berada diambang pintu.

“Karena tak mengantri.”

Dia merunkan tas besarnya kembali dan siap dijinjingnya.

“Kau akan kemana lagi?. Aku tahu Kau belum punya tujuan.”

“Aku akan kembali pada keluarga Darmawan.”

“Kau tak merasa rendah?. Aku malu mempunyai teman sepertimu jika Kau masih seperti ini.”

“Kau sedang meledek atau menghinaku.”

“Terserah Kau mencernanya.”

“Begitu. Aku merasa mendapat hinaan dari Seorang Spiderman yang selalu berusaha membuat kaca gedung-gedung tinggi itu menjadi semengkilap kristal.”

“Tetapi setidaknya Aku tidak gila di abun-abun.”

“Rupanya Kau sudah lupa tujuan awal kita datang ke Kota ini. Kau sangat menyedihkan. Sedikit saja recehan telah membuatmu lupa dengan perjuangan dan kemenangan.”

“Aku hanya menyudahi hayalan dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih nyata.”

“Bukan hayalan melainkan mimpi dan imaginasi, yang harus Kita wujudkan menjadi kenyataan. Kau puas dengan keadaanmu yang sekarang?”

“Setidaknya dapat Kukantongi sejumlah uang setiap minggunya. Untuk masa depanku. Aku rasa keadaanku jauh lebih baik dari keadaanmu sekarang.”

“Kau sangat menyedihkan. Aku tak menyangka Kau menjadi sepesimis seperti sekarang ini.”

“Sudahlah, Aku tak butuh Khotbahmu. Jika Kau tetap ingin pergi, pergilah. Dan tenang saja, Aku selalu mendo’a kan yang terbaik untukmu.”

“Aku tak butuh Do’a dari orang yang berputus asa.”

“hati-hati dengan ucapanmu!”

“Kurasa Aku tak salah bicara. Tapi baiklah. Semoga ini bukan akhir perjumpaan Kita,” ucapnya menyudahi.

“…Selamat tinggal.”

Dia melangkah keluar dengan agak berat.

“Tunggu. Hanya ini yang bisa kuberikan padamu.”

Dengan tidak menyesal dikembalikannya kembali sejumlah uang yang dengan paksa dimasukan kedalam kantongnya. Sejawatnya hanya menarik nafas kesalnya.

“Aku tahu Kau iklas memberikannya, tapi maaf Aku tak bisa menerimanya.”

“Baiklah. Semoga khayalanmu menjadi kenyataan.”

“Sekali lagi Ku-tegaskan. Bukan khayalan tapi perjuangan.”

“Ya, itu maksudku. Jika Kau berubah fikiran, kembali saja kesini. Akan Ku usahakan satu tempat pekerjaan untukmu di tempat kerjaku.”

“Terimakasih atas kebaikanmu, tapi kurasa tidak.”

“Kau memang keras kepala.”

Dengan langkah pasti ditinggalkannya Biduk sejawatnya. Langkahnya memelan setelah Sejawatnya masuk dan menutup pintu rapat-rapat.

Lembab udara malam cukup membuat bulukuduk berdiri. Dikejauhan lampu-lampu kecil hampir seperti bintang-bintang dilangit yang sama sekali tak nampak karena tertutup mendung. Rintik gerimis mulai terasa sejuk dikulit wajah. Langkahnya semakin memelan ditepian jalan. Keteguhannya hampir ambruk. Nalarnya mulai menguat melawan daya khayalnya. Bila dipikir, memang sangat memalukan. Benar yang dikatakan sejawatnya. Di tempat di tempat keluarga Darmawan dirinya memang seperti kurcaci yang menyaru diantara para raksasa. Dan lebih memalukan lagi, Dirinya memang benar-benar bukan cendekiawan. Raja yang menyaru menjadi rakyat biasa memang mengesankan. Tetapi Rakyat biasa yang bertingkah seperti Bangsawan.., sama saja dengan Orang yang tak tahu malu.

Gerimis telah menjadi hujan dan semakin melebat. Sadarlah Dia pakaiannya telah sangat basah. Wajah dan rambutnya pun telah kuyup. Setelah menoleh kedua arah jalan, menepilah Dia di emper pertokoan yang telah tutup. Udara semakin dingin. Kilatan petir yang diikuti gemuruh guntur seakan mengisyaratkan kalau hujan akan turun sepanjang malam ini. Sebenarnya belum terlalu jauh bila Dia kembali lagi ketempat sejawatnya. Tetapi itu diluar kemungkinan. Egonya melarangnya dengan keras. Tiba-tiba Dia merasakan rindu yang amat sangat pada mendiang Ayahnya.

Diambilnya beberapa lembar Uang dari dompetnya. Hanya itu yang tersisa. Bila dipakai untuk menginap barang semalam saja dan untuk ongkos keluar Kota maka hanya tersisa untuk makan sekali saja di warung. Diraihnya sebungkus rokok dari kantong celananya. Tentu saja telah sangat basah dan tak bisa dinikmati lagi. Dengan kesal Dia melempar sebungkus rokoknya kejalanan dan pelan terbawa arus hingga jatuh keselokan. Mungkin sejawatnya benar dan Dia gila di abun-abun.

“Tidak!”

Dihentakannya keputus asaannya. Di pandangnya langit yang menyala-nyala. Basah air hujan terasa diseluruh kulit tubuhnya. Giginya-pun mulai bergatik, gemetar. Disilangkannya kedua tangannya kedepan tetapi malah semakin terasa dingin dan Dia kembali teringat nasehat mendiang Ayahnya yang selalu menjadi pegangan dan petuah dalam hidupnya..

“Jika pandai meniti buih, yakinlah Kau akan selamat Badan ke seberang,” begitu ucapnya.

Tiba-tiba dari arah belakanag, telapak tangan Seseorang menghentak keras pundaknya. Terkejutlah Dia. Rupanya Sejawatnya telah berdiri di sampingnya dengan keadaan kuyup juga.

“Aku mencarimu kemana-mana ternyata Kau disini.”

“Kau mengagetkan saja,” jawabnya dengan bibir gemetar.

“Lihat apa yang kubawa untukmu..”…

Sejawatnya menaikkan sebelah tangannya yang memegang sekantong plastik Coffemix. Sudah tak panas lagi tetapi masih hangat. Tanpa canggung Dia meraih dan meminumnya hingga habis. Sejawatnya yang sempat Dia tawari hanya menggeleng enggan.

“Aku membawakannya untukmu karena Aku tak mau Kau mati kedinginan.”

Dia sedikit tersedak. Dengan tangkas Dia mengambil rokok yang tengah menyala dari tangan sejawatnya.

“Kamu pikir hanya karena air hujan Aku akan mati?. Atau Kau memang mendoakan Aku agar cepat mati!”…

“Apa untungnya bagiku bila Kau mati. Lagi pula bagaimana nanti kumenceritakan kisah kematinmu pada Orang-orang ”

“Kau senang sekali membicarakan tentang kemtianku.”

“ –Hei!. Bagaimana rokok ini tidak basah sedang Kau sendiri kuyup?”

“Kau tahu otak cerdasku selalu mendapat ide-ide cemerlang untuk memecahkan masalah-masalah sepele seperti ini.”

“Bagaimana hanya karena hal kecil ini Kau bisa dikatakan cerdas. Aku bisa menebak. Kau memasukannya kedalam kantong plastik bukan?”

“Ya. Tapi dalam kenyataanya otakmu tak sampai berfikir sampai situ bukan?” ucapnya puas. “Maafkan Aku tadi siang. Aku tak bermaksud mematahkan semangatmu.”

“Aku tahu. Sudahlah, yang penting apa tawaranmu masih berlaku untukku?. Aku tak punya tujuan dan uangku habis.”

“Tentu saja masih. Tapi bukankah Kau tadi berencana kembali pada keluarga Darmawan?”

“Aku baru saja membatalkannya. Tapi Kau jangan berfikir kalau Aku menyerah pada keadaan. Mungkin Aku memang gila di abun-abun tapi biarpun lebur binasah terpantang surut langkahku.”

“Kau memang keras kepala dan ambisius. Dan Aku memang menyedihkan. Tapi Aku tak menyesal punya Teman sepertimu. Aku yakin suatu saat semua yang Kau inginkan akan Kau dapatkan.”

“Dan Aku tak ingin mencapai Kemenangan itu, bila tanpamu. Kita dating bersama, berjuang pun bersama. Jadi menang-pun harus bersama.”

Sejawatnya menoleh-noleh

“Kenapa?“

“Tidak. Kau sadar obrolan Kita terdengar sangat menggelikan.“

“Apa maksudmu?”

“Sudahlah Orang sepertimu brfikiran lamban, tapi nanti Kau juga mengerti. Kalau begitu Kita bisa mulai dari awal lagi?”

“Selalu saja Kau mengataiku bodoh.”

“Bukan dari awal, tapi melanjutkan,” imbuhnya.

“Melanjutkan. Ya, melanjutkan. Itu lebih baik.”

“Hei!…hujan sudah reda. Sebaiknya Kau kembali ke tempatku saja.”

“Dari tadi Aku menunggumu menawariku, bodah. Aku tak mau Aku yang meminta bantuan padamu.”

“Apa bedanya?. Kau masih keras kepala rupanya. Dan gengsian juga.”

Mereka-pun menunggalkan emper Toko dan berjalan menuju keremangan menembus bayang-bayang tirai basah gerimis.

* * *

No comments:

Post a Comment